PROMOSI DAN PEMASARAN YANG BERETIKA
Promosi
adalah suatu usaha dari penjual/produsen dalam menginformasikan barang/jasa
kepada pembeli/konsumen, agar pembeli/konsumen itu tertarik untuk melakukan
transaksi pembelian atau pertukaran atas produk barang/jasa yang dijual atau
ditawarkan. Promosi merupakan salah
satu alat komunikasi antara penjual dengan pembeli yang sangat diperlukan dalam
kegiatan usaha bisnis. Dengan promosi penjual bisa menyebar luaskan informasi
usaha bisnis, mempengaruhi atau membujuk pembeli/konsumen, dan juga bisa
mengingatkan agar barang/jasa yang kita jual tidak terlupakan dari benak para
konsumen.
Dengan dilakukannya kegiatan Promosi bisa membuat
sebuah usaha semakin dikenal dan diketahui oleh banyak orang. Jika sudah
dikenal dan diketahui oleh banyak orang maka kemungkinan pembeli barang/jasa
yang dijual akan semakin banyak. Jika pembelinya banyak pastinya kesempatan
memperoleh keuntunganpun akan semakin terbuka lebar dan usaha bisnis juga akan
semakin berkembang menjadi lebih besar.
Namun terkadang untuk memperoleh
keuntungan yang besar atau menarik minat beli konsumen terkadang produsen
menginformasikan produk mereka tidak secara gamblang sehingga terkadang
konsumen merasa dibohongi atau tidak mendapatkan kepuasan setelah membeli
produk tersebut.
Salah satu contoh banyaknya pengaduan dan keluhan konsumen baik terhadap
bahasa “Iklan” yang digunakan perusahaan telepon seluler tertentu yang tidak
sesuai dengan fakta, juga terhadap layanan penyelenggara telekomunikasi cq.
operator layanan seluler, yang telah menimbulkan beragam opini.
Intinya, konsumen belum diperlakukan secara layak dan benar, bahkan ada
kecenderungan “mempermainkan konsumen”. Terlepas kesan dan opini yang
berkembang di tengan masyarakat, faktanya banyak perusahaan seluler belum
bertanggungjawab dan cenderung memperlakukan konsumen sebatas “obyek
keuntungan” ketimbang mitra usaha.
Secara yuridis, pelanggaran hak-hak konsumen --menurut Pasal 4 UU Nomor 8
tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen setidaknya bisa dibagi ke dalam 4
(empat) hak, yaitu : Pertama, hak untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan
keamanan mengkonsumsi layanan operator. Contoh pelanggaran jenis ini ialah
pemblokiran sepihak oleh operator maupun keterbatasan kualitas dan jaringan,
yang sebelumnya (lewat promosi) telah dijamin keandalannya.
Kedua, hak untuk memperoleh pelayanan dan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang ditawarkan. Keluhan pelanggan
seluler yang pulsanya terkuras habis tanpa disadari, gara-gara mengikuti
layanan push SMS content provider atau operator misalnya, merupakan contoh
konkret “pengebirian” hak-hak konsumen.
Pasalnya, konsumen tak tahu kalau layanan push SMS adalah layanan
berlangganan. Yang dia tahu pulsanya habis begitu saja, karena setiap menerima
SMS dari penyedia layanan, pulsanya langsung dipotong. Dengan tarif premium
pula. Sementara, untuk menghentikan layanan itu, tak tahu pula bagaimana
caranya, karena penyedia layanan tidak memberikan informasi lengkap.
Ketiga, hak pengguna seluler atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan layanan yang ditawarkan perusahaan seluler.
Pelanggaran jenis ini berwujud beragam promosi atau penawaran layanan yang
dalam pelaksananya, baik disengaja atau tidak, telah “memperkosa” hak-hak
konsumen. Pasalnya, program tersebut tidak disertai dengan rincian informasi
detail seperti jam penggunaan program dan teknis perhitungan pulsa. Akibatnya,
banyak pelanggan yang pulsanya habis tanpa tahu penyebabnya, sehingga mendorong
mereka mengajukan gugatan.
Keempat, hak konsumen untuk dilayani secara benar serta didengar pendapat
dan keluhannya atas jasa yang digunakannya. Cotoh pelanggaran ini dapat dilihat
dari tingginya keluhan pemakai seluler terhadap pelayanan petugas operator yang
lamban dan seringkali tidak bersahabat, pada saat pelanggan menanyakan atau
meminta informasi.
Dari fakta hukum tersebut jelas pihak perusahaan seluler tidak
bertanggungjawab dan telah melanggar hak-hak yang dimiliki konsumen. Apalagi
terjadinya fakta tersebut dipicu pula dengan banyaknya masyarakat pengguna jasa
perusahanaan seluler belum memiliki budaya korektif yang mengkritisinya serta
ketidaktahuan pengguna jasa seluler kepada siapa harus mengadu atau
mengkomplainnya jika ia dirugikan, atau malah pengguna jasa karena tidak mau
ruwet dan susah, lebih baik bersikap apatis dan masa bodo saja terhadap apa
yang terjadi.
Keengganan pihak perusahaan seluler untuk berhenti mempraktekkan berbagai
perilaku yang merugikan hak-hak konsumen, pada gilirannya toh akan ditinggalkan
pelanggannya juga. Perusahan bersangkutan cepat atau lambat akan menghadapi
berbagai jenis gugatan ganti kerugian secara perdata dan/atau dapat dikenakan
ancaman tuntutan pidana 5 (lima) tahun penjara atau denda maksimal dua milyar
rupiah, dan/atau ditambah dengan sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan 63 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Sudah waktunya pihak perusahaan seluler harus memperhatikan hak-hak
konsumen serta mau bertanggungjawab dalam melakukan etika berusaha yang
prosedural dan menghormati persaingan usaha yang sehat terhadap sesama
perusahaan sejenis dan memperlakukan pelanggannya secara benar dan jujur.
Karena bagaimanapun pada akhirnya semua tergantung pada kesadaran masyarakat
pemakai jasa telepon seluler untuk menyeleksinya. Apalagi saat ini kesadaran
konsumen untuk mengerti akan hak-haknya sedikit demi sedikit mulai bangkit,
baik secara kuantitatif maupun kualitatif, masyarakat pengguna jasa perusahaan
seluler sudah saatnya membangun budaya kritis dan tidak segan-segan melakukan
koreksi baik terhadap segala bentuk ketidak sesuaian antara fakta dengan apa
yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut, serta mau melakukan koreksi tentang
logika bahasa ”Iklan” yang digunakan oleh perusahaan seluler tertentu yang dirasakan
sudah tidak masuk akal.
Contoh bahasa iklan yang tidak sehat, tentang terjadinya perang tarif
antara sesama perusahaan seluler, di sana ada yang menggunakan bahasa iklan
seperti, ”ada yang lebih murah dari Rp.0 ?” atau ”Tarif = Rp.0 ”, yang jika
dianalisa iklan tersebut dapat merupakan pembodohan dan pelecehan intelektual
masyarakat. Dan iklan jenis ini adalah masuk kualifikasi iklan yang menyesatkan
yang dapat dituntut secara pidana berdasarkan pasal 8 ayat (1) huruf f dan
pasal 9 dari UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
0 komentar:
Posting Komentar